Langsung ke konten utama

Kolaborasi Mewujudkan Pilkada Berkualitas di Tengah Masa New Normal


 foto : dokpri penulis

Oleh : Theodorus L.T.

Pemerintah telah mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (PERPU) nomor 2 tahun 2020 tentang perubahan ketiga atas undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi undang-undang. Yang mana inti dari Perpu ini mengatur tentang pelaksanaan pilkada yang sebelumnya di tunda bulan September dan diundurkan pelaksanaanya menjadi bulan desember 2020.

Momentum pilkada kali ini menjadi sesuatu hal yang berbeda dari pilkada sebelumnya, dimana pilkada kali ini adalah pilkada serentak yang akan dilaksanakan di 270 daerah, terdiri dari 9 provinsi pemilihan gubernur dan wakil gubernur, 37 Kota pemilihan wali kota dan wakil walikota, dan 224 kabupaten pemilihan bupati dan wakil bupati. Hal yang membuat pilkada kali ini berbeda yaitu pilkada di selenggarakan ditengah kondisi yang abnormal oleh karena adanya virus covid-19 yang hingga saat ini masih menjadi “musuh bersama” seluruh dunia tak terkecuali masyarakat Indonesia.

Situasi di atas menjadi peluang dan tantangan bersama, dalam konteks pelaksanaan Pilkada tahun 2020 ini. kita ketahui bersama bahwa disuatu sisi dibeberapa daerah di Indonesia akan melaksanakan prosesi pilkada sebagai tuntutan demokrasi, sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Namun disisi lain juga, situasi-situasi diatas bisa mengancam kedaulatan rakyat itu sendiri, bahkan lebih parahnya adalah bisa membahayakan nyawa daripada masyarakat. Hal ini bukan tanpa sebab, kita ketahui bersama bahwa prosesi pilkada serentak kali Ini akan berlangsung di tengah wabah pandemi  covid-19.  Dimana wabah ini adalah wabah yang bekerja secara kasat mata namun bisa menjangkiti siapa saja, kapan saja dan dimana saja, singkatnya membahayakan nyawa manusia.

Namun dengan keputusan pelaksanaan pilkada ditengah situasi ini, kita tentunya tidak boleh lupa akan substansi dari pada Pilkada itu sendiri, seperti yang pernah dikatakan oleh Abraham Lincoln bahwa demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Maka dari pengertian tersebut bisa kita menyatakan bahwa memang rakyat merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Tentu dalam momentum pilkada kali ini, kita berharap agar supaya prosesi demokrasi kita bisa berjalan sesuai dengan asas-asas dari pada demokrasi itu sendiri. Dengan tetap mengedepankan transparansi dan akuntabilitas meskipun dalam situasi yang sulit akibat dari pandemi Covid-19.

Robert Alan Dahl (2004) dalam sebuah bukunya menuliskan sebuah isyarat bahwa pemilihan  umum yang dilakukan langsung oleh rakyat merupakan keharusan agar pemerintah daerah senantiasa menjunjung akuntabilitas dan tanggung jawabnya. Tanggung jawab dan akuntabilitas ini menjadi tolok ukur untuk menilai suksesnya suatu pemerintahan. Tanggung jawab dan akuntabilitas ini juga yang menjadi patokan dari pada setiap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, dan tentu tanggung jawab itu adalah tanggung jawab atas apa yang menjadi kepentingan rakyat yaitu kesejahteraan.

Berdasar pada konsep diatas, kemudian dikaitkan dengan kondisi atau sitiuasi pelaksanaan pilkada kali ini, tentunya akan menjadi tantangan dan kendala yang berbeda. Tidak hanya tantangan tantangan/persoalan yang di hadapi seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya seperti ; Daftar pemilih yang kurang akurat, konflik internal partai, masalah netralitas penyelenggara pilkada, masalah kampanye, hingga manipulasi penghitungan suara. Tetapi ada tantangan baru yang akan menambah berat masalah-masalah dalam prosesi pilkada itu sendiri, yaitu adanya pandemi covid-19 beserta efek dari pada pandemi ini, misalnya soal ekonomi yang kemudian akan berpengaruh juga pada anggaran untuk suksesi proses pilkada.

Dalam konteks ini, untuk menyukseskan pilkada dibutuhkan Kolaborasi dari berbagai elemen terkait sebagai sebuah fondasi yang kokoh untuk menyukseskan pilkada, tidak hanya sekedar sukses dalam tataran formalitas tetapi juga dalam mencapai substansi. Yaitu menghasilkan peimpin daerah yang betanggung jawab dan professional yang bisa mewujud nyatakan cita-cita demokrasi yaitu kesejahteraan masyarakat. Kolaborasi ini harus juga didasarkan pada kesepahaman akan substansi dari pada demokrasi itu sendiri, serta bagaimana bisa mewujudkan substansi demokrasi itu di tengah masa new normal pandemi covid 19.

Setidaknya Kolaborasi harus dilakukan dari oleh tiga entitas yang terlibat aktif dalam proses pilkada, tiga entitas ini dengan perannya masing-masing harus memiliki visi bersama untuk menghadirkan kontestasi Pilkada yang berkualitas. Tiga entitas ini terdiri dari; Penyelenggara Pemilihan, Pemilih dan Peserta pemilihan.

Pertama, Penyelenggara pemilihan. dalam hal ini KPU sebagai penyelenggara teknis pemilihan, bawaslu sebagai badan pengawasan dan penindakan proses pemilihan, dan DKPP sebagai badan penindakan kedisiplinan kode etik penyelenggara pemilihan. Ketiga elemen penyelenggara pemilihan ini harus senantiasa menjalankan tugasnya secara profesional, fungsi penyelenggaran mesti mengedepan prinsip jujur, bersih adil dan transparan.

Untuk hal itu, maka potensi-potensi terjadinya kecurangan, seperti money politic, politisasi bantuan Covid-19, atau bentuk-bentuk kecurangan lainnya dalam proses pilkada mesti di minimalisir dengan pengawasan yang ketat, dan proses yang transparan. Jika terdapat pelanggaran-pelanggaran di lapangan mesti dilakukan proses penindakan secara tegas. Hal penting lainya adalah bagaimana pihak penyelenggara dalam masa new normal pandemi covid-19 ini bisa berupaya mewujudkan pilkada berkualitas. rancangan strategi pelaksanaan, persiapan dan sosialisasi pelaksanaan pilkada di masa pandemi (new normal) harus senantiasa berkoordinasi dengan pihak kesehatan (gugus tugas covid-19). Dalam upaya pelaksanaan dan pengawasan untuk tujuan mewujudkan pilkada yang jujur dan adil, maka perlu juga untuk melibatkan semua elemen seperti LSM, OKP, Mahasiswa dan elemen lainya.

Kedua, Pemilih. Dalam hal ini adalah masyarakat yang telah di tetapkan oleh undang-undang untuk menggunakan hak pilihnya dalam pilkada. Masyarakat (pemilih) memiliki peran sentral yang sangat penting dalam setiap prosesi demokrasi, dimana dalam demokrasi yag sangat menggantungkan jumlah dukungan suara terbanyak. Maka dalam konteks ini masyarakat (pemilih) dituntut untuk memiliki peran kritis dalam menggunakan hak pilihnya. Pemilih harus menggali dan mengenali setiap pasangan calon yang ada dalam Pilkada. Bukan hanya profil atau rekam jejak dari calon kepala daerah tetapi juga program dan gagasan yang ditawarkan.

Perbedaan pilihan dalam proses demokrasi adalah suatu kewajaran, itulah konsekuensi dari proses demokrasi. Maka tidaklah perlu ada ruang-ruang perbedaan yang di pertajam dan memantik adanya konflik, ruang-ruang publik menjadi ruang tarung narasi-argumentasi yang membangun untuk mengungkapkan ekspresi pilihan masing-masing masyarakat dalam konteks pilkada, tanpa harus ada tendensi provokasi isu sara, hoax dan perdebatan-perdebatan tak berbobot lainya. Lalu hal lainya, yang perlu menjadi perhatian masyarakat yaitu pada saat proses pelaksanaan pilkada nantinya masyarakat juga mesti secara sadar memperhatikan protokol kesehatan pencegahan covid-19 (pakai masker, jaga jarak dan cuci tangan) agar pilkada berjalan sebagai mana prinsipnya, yaitu mewujudkan kedaulatan rakyat. Dan tps tidak menjadi klaster baru penyebaran covid-19.

Ketiga, Peserta pemilihan. dalam hal ini para pasangan calon kepala daerah, baik itu dari unsur partai politik maupun perseorangan. Para calon kepala daerah ini mesti mengikuti semua aturan dan ketentuan yang telah ditetapkan mulai dari proses pendaftaran hingga sampai pada proses penetapan hasil. Peran penting yang perlu diperhatikan oleh para calon kepala daerah yaitu dalam proses kampaye, kiranya dalam proses kampanye yang di lakukan adalah kampanye yang bersifat edukatif, kampanye yang mengutamakan pendidikan politik kepada masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggung jawab. menuangkan gagasan-gagasan politik yang menjadi visi dan misinya tanpa mendiskreditkan yang lain dengan berbagai cara ; seperti kampanye isu sara, penyebaran hoax/fitnah kepada pihak lain yang menjadi lawan politiknya. Juga di masa new normal pandemi covid-19 ini, mesti menjadi momentum bagi peserta pimilihan untuk melakukan proses kampenyenya, dengan sekaligus memberikan pemahaman terkait protokol kesehatan, memberikan bantuan sosial yang tulus tanpa ada keterikatan atau syarat tertentu.

Bila tiga entitas dalam pemilihan kepala daerah teresbut diatas bisa berkolaborasi dalam menjalankan peran dan fungsinya dengan sebaik-baiknya, maka harapan kita bersama untuk mewujudkan proses pemilihan Kepala daerah yang berkualitas bisa tercapai, meskipun dalam kondisi pandemi (new normal).

Akhir kata sebagai penutup. Seperti yang dikatakan oleh Soerjono Soekanto bahwa kesadaran hukum itu merupakan persoalan nilai-nilai yang terdapat pada diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Kesadaran hukum harus didasari pengetahuan apa itu hukum, jika seseorang tidak mengetahui apa itu hukum tentu tidak bisa menjalankan hukum sebagaimana mestinya.  masyarakat tahu bahwa hukum adalah hal yang penting untuk masyarakat karena hal itu melindungi masyarakat dari berbagai macam hal yang menyalahi hukum. Maka dalam konteks Pilkada kesadaran hukum, dalam artian segala macam aturan hukum tentang proses Pilkada yang telah di tetapkan mesti menjadi pedoman bersama untuk menyukseskan Pilkada.

Penulis adalah Ketua Presidium PMKRI Cabang Kendari Periode 2020-2021. Juga mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sulawesi Tenggara.

opini ini juga terbit di website kastra.co :http://kastra.co/2020/07/29/kolaborasi-wujudkan-pilkada-berkualitas-di-masa-new-normal/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Trip Gunung Lambelu, 11 Februari 2024

Gunung Lambelu atau biasa oleh Masyarakat setempat di sebut Gunung Kamosope, dengan Ketinggian 460 Meter dari permukaan laut. Gunung ini terletak Desa Lambelu Kecamatan Pasi Kolaga, Kabupaten Muna. Gunung ini secara administratif wilayah masuk dalam wilayah administrasi Pemerintah Kabupaten Muna, akan tetapi secara Geografis masuk dalam dataran pulau Buton. . Konon menurut cerita dahulu kala di atas gunung ini pernah menjadi benteng pertahanan luar Keraton Buton dalam mempertahankan wilayahnya dari serangan Penjajah, hal ini terlihat pada jalur pendakian yang mendekati puncak gunung, dimana terdapat bebatuan yang disusun rapi berbentung benteng pertahanan.  . Di atas gunung ini juga terdapat hutan yg cukup rimbun, yang menjadi tempat hidup berbagai jenis satwa liar serta menjadi hutan yang menyerap air hujan dan mengalirkannya kembali bagi masyarakat sekitar. . #Salam_Lestari Lambelu 11 Februari 2024

Filsafat Dasar Muna

          Bapak Willem Saragosa menjelaskan bahwa umat di Pulau Muna mempunyai filsafat dasar, sama seperti Republik Indonesia mempunyai filsafat dasar lima sila, Pancasila. Hal yang sama berlaku untuk umat Pulau Buton. Sampai sekarang filsafat ini mempengaruhi masyarakat, seperti di saksikan oleh Pastor Wilem Daia yang meringkaskan filsafat dasar ini dalam tiga prinsip hidup. Menurut Bapak Wilem Saragosa, Filsafat Muna itu tergantung juga dari pendidikan yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anak mereka. Intisari pendidikan yang harus di ajarkan oleh kedua orang tua terutama ibu terhadap anak-anaknya dapat di rumuskan sebagai berikut : Amamua motehie folumo dua kabholosino Lahataala. Artinya : Bapakmu harus engkau takuti bagaikan juga pengganti Yang Maha Kuasa Inamua motehie folumo dua kabholosino Nabi. Artinya : Ibumu harus engkau takuti bagaikan juga pengganti Nabi Isamua motehie folumo dua kabholosino Malaekati. Artinya: Kakakmu harus engkau takuti bagaikan juga pengganti M

Tentang Intoleransi

"catatan ini adalah hasil refleksi saya setelah mengikuti agenda Youtcamp Muda Toleran yang diselenggarakan oleh Jaringan Gusdurian di Yogyakarta" Menurut saya sikap Intoleran itu tidak dapat di justifikasi hanya pada satu fihak saja, dengan menggeneralisir suatu case tertentu. Setiap orang punya potensi untuk bersikap intoleran dalam berbagai konteksnya, baik agama, suku, ras dan budaya. Sebab sikap Intoleran menurut saya, berakar pada satu sikap yaitu "Egoisme Individu" (Ilusi Keakuan) padahal pada faktanya kita sebagai manusia tidak dapat hidup tanpa adanya manusia lainnya (makhluk sosial) Maka jalan untuk meretas sikap Intoleran ini adalah dengan membuka diri; pikiran terbuka, hati terbuka dan keinginan untuk berdialog dan bergaul dengan yang berbeda. Pada titik keterbukaan itu, akhirnya kita akan bertemu dalam nilai nilai inti kehidupan kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Kemanusiaan dan Keadilan. Terimakasih untuk kesempatan belajar dan berbagi ber