Bangsa Indonesia saat ini menghadapi situasi yang sulit. Rakyat Indonesia terus dihadapkan kepada situasi politik yang kian hari kian rumit dan penuh intrik. Tingkah laku para pelaku politik terus menghiasi berbagai media.
Partai-partai juga semakin aktif melakukan aneka manuver politik. Tetapi
anehnya semua ini tidak membawa bangsa Indonesia kepada situasi yang semakin
baik. Sebaliknya, yang terjadi adalah saling tuduh, saling hujat, saling jegal,
dan seterusnya. Hukum makin mudah dilanggar, dan politik pun dilakukan tanpa
etika. Mental penjilat, penghasut, main hakim sendiri, dan sadis sudah
sedemikian melekat pada segenap komponen bangsa ini.
Nilai-nilai kebaikan pun rela diabaikan asal tujuan politik mereka terpenuhi. Pertanyaan yang kemudian mengusik adalah, “Apa yang sebenarnya terjadi dengan kehidupan politik di Indonesia? Apakah politik itu? Apakah hakekat dari politik itu hanya demi pencapaian kekuasaan melulu? Apakah demi tujuan politik, kebaikan dan Tuhan harus dikorbankan? Apakah ada harapan akan datangnya perbaikan dalam situasi seperti ini?”
Inilah salah satu bentuk duka dan kecemasan yang dialami bangsa dewasa ini. Penderitaan yang sedang terjadi adalah penderitaan kolektif bangsa, maka yang bertanggung jawab untuk memperbaikinya adalah seluruh lapisan masyarakat Indonesia pula, termasuk umat Katolik juga. Tak ada pilihan lain kecuali mengedepankan kembali peran kebaikan dalam berpolitik. Kebaikan perlu dijunjung lagi dengan mewartakan suara kenabian. Hal ini mengandaikan proses transformasi dalam diri awam Katolik sendiri.
Bebarapa hal yang perlu kita refleksikan bersama dalam kaitan dengan hal ini adalah: Pertama, Perlu adanya perenungan kembali Gereja dalam masyarakat. Gereja tidak bisa lagi hanya berurusan dengan hal-hal rohani, spiritual, dan liturgis, seakan-akan persoalan yang dialami masyarakat bukan urusan Gereja, dan urusan Gereja hanyalah sebatas di seputar gedung gereja. Banyak kaum awam yang takut masuk dalam dunia politik karena ada anggapan bahwa politik itu kotor. Pertanyaannya: apakah dunia pendidikan, ekonomi, bisnis, dll tidak kotor? Awam Katolik yang mempunyai “roh berpolitik” dipanggil untuk menjadi nabi di tengah kekotoran ini dan membawanya kembali kepada kebaikan.
Kedua perlu dikikis rasa inferior karena merasa diri sebagi minoritas. Kita selalu merasa diri kecil dan jumlahnya sedikit sehingga menimbulkan perasaan takut dan minder. Ada kekurangberanian untuk terlibat secara langsung dalam menjawab keprihatinan yang sedang dialami masyarakat, sehingga pilihan yang diambil adalah cenderung diam.
Ketiga, tidak lagi relevan untuk mempertahankan sikap eksklusif dan sectarian. Yang dimaksud dengan sikap eksklusif adalah menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar, paling baik, paling suci; sedangkan agama yang lain atau gereja yang lain itu salah dan jelek. Akibatnya Gereja menjadi tertutup, selalu merasa dirinya terancam, dan curiga. Hal ini tentu tidak relevan di tengah multikulturalisme Indonesia.
Perjuangan Gereja menjadi kekuatan kenabian sebagian besar memang bergantung pada kaum awam yang hidup di tengah masyarakat (dan tentu saja dalam kerjasama yang baik dengan para imam). Kaum awam dewasa ini dipanggil menjadi nabi-nabi baru untuk mewartakan kebenaran tanpa menjadi bagian dari kekotoran itu sendiri.
Tidak mudah memang. Diperlukan integritas yang hanya bisa dimiliki oleh pribadi-pribadi yang memang menyadari dirinya sebagai Garam dan Terang bagi dunia. Dalam Injil Yohanes 17:15 Yesus berdoa kepada BapaNya; ” Aku tidak meminta supaya Engkau mengambil mereka dari dunia, tetapi supaya Engkau melindungi mereka daripada yang jahat... Kuduskanlah mereka dalam kebenaran.” Kaum awam dengan cara pandang seperti itu pasti memiliki kesadaran untuk tidak henti mengolah dirinya menjadi nabi-nabi baru dalam kekudusan dan kebenaran dengan belajar banyak hal, mendengar banyak hal, dan mengolah banyak hal dalam terang iman akan Allah Sang Sumber Kekudusan dan Kebenaran yang Sejati.
Komentar
Posting Komentar