Bapak Willem Saragosa menjelaskan bahwa umat di Pulau Muna mempunyai filsafat dasar, sama seperti Republik Indonesia mempunyai filsafat dasar lima sila, Pancasila. Hal yang sama berlaku untuk umat Pulau Buton. Sampai sekarang filsafat ini mempengaruhi masyarakat, seperti di saksikan oleh Pastor Wilem Daia yang meringkaskan filsafat dasar ini dalam tiga prinsip hidup. Menurut Bapak Wilem Saragosa, Filsafat Muna itu tergantung juga dari pendidikan yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anak mereka. Intisari pendidikan yang harus di ajarkan oleh kedua orang tua terutama ibu terhadap anak-anaknya dapat di rumuskan sebagai berikut :
- Amamua motehie folumo dua kabholosino Lahataala. Artinya : Bapakmu harus engkau takuti bagaikan juga
pengganti Yang Maha Kuasa
- Inamua motehie folumo dua kabholosino Nabi. Artinya : Ibumu harus engkau takuti bagaikan juga
pengganti Nabi
- Isamua motehie folumo dua kabholosino Malaekati. Artinya: Kakakmu harus engkau takuti bagaikan juga
pengganti Malaikat.
- Aimua moasiane folumo dua kabholosino Muumini. Artinya : Adikmu harus engkau sayangi bagaikan juga
pengganti Mukmin (Orang yang percaya kepada Allah)
Dasar pendidikan tersebut ditanamkan sedemikian rupa
kepada anak-anak sehingga mereka mengerti dan menghayati serta mengamalkannya. Kedua
orang tua harus membimbing anak-anaknya sedemikian sehingga anak-anak, selain
mengenal kedudukan bapak dan ibu yang wajib dihormatinya, juga harus mengenal
siapa kakak dan siapa adik mereka. Kaka wajib dihormati dan disegani, sedang
adi harus di sayangi dan dibimbing. Menurut orang tua di zaman lampau, barang
siapa dapat mengamalkan intisari pendidikan itu dalam pergaulan hidup
sedemikian, tidak perlu ia takut kemana saja ia pergi.
Selanjutnya, untuk menjaga keutuhan rasa persatuan hidup dalam masyarakat, mereka diikat dengan kata-kata falsafah sebagai berikut :
- Poma-masighoo, yang berarti saling mengasihi secara timbal-balik. Kasih seperti ini di terapkan pada semua orang dengan tidak memandang ras, golongan, agama dan lain-lain
- Pomoo-moologhoo, yang berarti saling menjaga dan menaruh belas kasih. Bila ada di antara masyarakat yang berlaku kasar terhadap sesamanya, kita berkewajiban menegurnya sambil menasehatinya. Jadi, apabila ada orang yang bertengkar dan mungkin menimbulkan perkelahian, maka pada dasarnya kita berusaha untuk melerai dan sekaligus mendamaikannya.
- Popia-piara, yang berarti saling memelihara satu sama lain terutama menyangkut soal perasaan (Panca indera). Dalam percakapan atau dalam gerak-gerik, kita harus menjaga agar orang lain yang mendengarkan kata-kata kita dalam melihat gerak-gerik kita, tidak tersinggung perasaannya sehingga dapat menimbulkan perkelahian. Untuk mencegah hal itu, dianutlah prinsip, tadabhinimo kulindo. Artinya, jika anda merasa sakit apabila anda mencubit diri sendiri, maka rasa sakit serupa akan dirasakan oleh orang lain apabila Anda mencubitnya. Karena itu, janganlah menyakiti atau melukai orang lain. Jadi, dalam derap langkah hidup kita, diupayakan agar jangan menyinggung perasaan seseorang baik dalam percakapan maupun dalam gerak-gerik kita.
- Poadha-adhati, yang dalam arti luas berarti saling menghormati sehingga terasa bahwa semua orang adalah saudara. Siapa pun yang kita jumpai, kita hormati dan kita sapa dengan ramah. Dalam adat pernikahan misalnya, pembicara adat harus berbicara dan bersikap demikian sopa agar ia tidak menciptakan kerawanan yang melanggar ketentuan adat yang berlaku.
- Poangka-angkatao, yang berarti saling menghormati pendapat satu sama lain. Setiap orang terbuka untuk menerima pendapat satu sama lain sekaligus bersedia memberikan masukan kepada orang lain. Dengan demikian, terciptalah saling pengertian dan kerukunan hidup yang dapat mendatangkan kebahagiaan bersama.
Secara singkat, falsafah Muna inidapat dirumuskan
sebagai berikut : Rendah hati, sabar, dan suka bergaul dengan siapa saja dengan
tidak memandang ras, golongan, atau agama, dan mudah menyesuaikan diri serta
suka menolong orang.
Menurut Pastor Willem, ada tiga prinsip hidup yang
juga aman injili dari poin-poin falsafah hidup itu, sehingga dapat menjadi
titik temu antara ajaran Gereja dan adat istiadat Muna-Buton, khususnya adat
istiadat Wale-ale. Tiga prinsip itu adalah :
“Pertama, Poma-masiao, hidup saling mengasihi. Kasih
tidak hanya sebatas orang yang hidup bersaudara, tetapi juga terhadap orang
yang kurang berkenan di hati. Jika ada orang yang menyakiti kita, kita tidak
boleh membalas dendam. Sebaliknya, orang itu harus dimaafkan dan doguhaane, diniatkan dan didoakan, agar
ia jadi baik. Ia berbuat jahat bukan karena kemauannya sendiri, melainkan
karena ia dikendalikan oleh iblis yang mulai mempengaruhi dirinya. Apda prinsipnya
setiap orang baik. Karena itu, manusia mesti dapoma-masiao, saling mengasihi.
Kedua, Kase’ise, Hidup bersatu, sehati-sejiwa, senasib-sepenanggungan. Kaseise ini terwujud dalam hampir semua segi kehidupan. Kase’ise ini terwujud dalam hampir semua segi kehidupan. Misalnya, semua merasa bertanggung jawab menjaga keamanan dan keselamatan kampung, bersatu dalam membantu orang yang memiliki hajat (misalnya bercocok tanam, membangun rumah, pesta syukuran, pesta nikah dan sebagainya), bersatu dalam membantu warga yang berduka. Bila keluarga berduka amat sederhana, maka seluruh biaya pemakaman dan peringatan hari ketujuh di tanggung bersama oleh warga. Warga ini tidak hanya terbatas pada orang seiman, tetapi mencakup siapa saja yang merasa tergugah dan merasa bahwa keluarga yang berduka adalah saudaranya, ia akan membantu sesuai dengan kemampuannya. Jadi Kase’ise membentuk persaudaraan, rasa senasib-sepenanggungan, sehati-sejiwa, yang mengatasi hubungan dara, agama, status sosial, dan berbagai kepentingan.
Ketiga, Kerendahan Hati, Ada beberapa ide tercakup di dalamnya. Pertama selalu mendahulukan orang lain. Mendahulukan orang lain pada hakikatnya sama dengan mendahulukan diri sendiri. Kedua, menganggap diri bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, merasa tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan. Tetapi, orang itu sesungguhnya adalah seorang andalan : memiliki hikmat, pengetahuan, kemampuan, dan sebagainya. Hanya saja ia tidak mau menonjolkan diri. Ia bahkan sedapat mungkin menyembunyikan dirinya meskipun orang toh kemudian mengetahui hal itu dari gaya hidu yang bijak, santun, penuh perhatian, pengorbanan, dan sebagainya.
Note :Artikel ini adalah salinan (tulisan ulang) yang bersumber dari buku dengan judul "Menjadikan Segala-galanya Baik - Sejarah Gereja Katolik di Pulau Muna 1885-1985 - Oleh Dr. Kees de Jong". Di tulis ulang dengan tujuan untuk memudahkan pengenalan nilai-nilai budaya yang di selaraskan dengan nilai-nilai iman Kristiani.
Komentar
Posting Komentar